Islam Kok Pacaran
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun 
setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara 
laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur 
Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase 
hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti 
puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan 
engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual dalam 
pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka
 menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa 
kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup.
Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya 
ketimbang maslahatnya. Suatu contoh : orang berpacaran cenderung 
mengenang pacarnya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak 
terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar 
terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat 
kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku
 tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah 
kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan 
masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong 
naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan 
terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan 
kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan 
bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern 
(westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak 
kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut
 Islam di identikkan pada ta'arufan tpi yang dimaksud bukan pacaran tapi
 meminang, sebagai mana yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila 
seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat 
melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu 
Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan 
yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang 
berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini 
jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul 
bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR 
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah 
seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhulwah) dengan seorang wanita, 
kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah 
juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak 
panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut 
kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia 
dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalil" dengan 
mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang 
diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena
 Allah, membenci karena Allah, atau memberi karena Allah, dan tidak mau 
memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan 
imannya."Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman
 yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam 
mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : 
sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? 
Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan 
itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu 
aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai
 satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka 
merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada 
acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam
 arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau 
yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai 
karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi 
pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan 
dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan 
anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap
 yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk 
menikah, adalah segera saja laksanakan.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar